Kamu Cantik deh kalo Pakai Jilbab!
Sebuah Konformitas
Muti’ah Isnaeni
G0113071
Mahasiswa Program
Studi Psikologi
Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Sekarang ini jilbab merupakan gaya hidup yang
tren dan umum di kalangan remaja muslim putri. Tidak seperti jaman ibu saya,
jilbab hanya digunakan oleh wanita muslim tertentu dan itu pun masih dianggap
asing dan kuno di masyarakat. Dengan berbagai model yang tidak hanya memenuhi
syar’i tetapi juga mengikuti jaman fashoin masa kini membuat jilbab kian
digemari. Ditambah dengan warna-warni jilbab dan asesoris yang menghiasinya,
seakan bisa menambah percaya diri para penggunanya.
Kita tahu manusia adalah makhluk yang bersifat
individual sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individual manusia mempunyai
dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, sedangkan
sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan
dengan orang lain. Begitu pula remaja, mereka mempunyai motif untuk selalu
terikat dan berinteraksi di lingkungan sosialnya. Namun, menurut saya kebanyakan
dari mereka lebih suka membuat kelompok-kelompok bermain tertentu yang seusia dengan
mereka sebagai lingkungan sosialnya dibanding berinteraksi dengan orang yang
lebih tua maupun lebih muda darinya.
Sadar
atau tidak, kelompok bermain sebaya ini memiliki pengaruh yang besar untuk bisa
mengubah perilaku kita. Mengapa? Karena tadi, kita memiliki keinginan untuk
bersama dan berinteraksi dengan orang lain. Supaya keinginan itu terwujud kita
mau tidak mau harus mematuhi norma – norma dan menyesuaikan perilaku kita di
kelompok tersebut. Perubahan perilaku ini disebut konformitas. Seperti pendapat Kiesler dan
Kiesler (dalam Rakhmat, 2000) menyatakan konformitas adalah perubahan perilaku
atau keyakinan ke arah kelompok sebagai akibat tekanan dan tuntutan kelompok,
baik tuntutan yang nyata maupun tuntutan yang hanya dibayangkan saja. Dengan mengubah perilaku kita menjadi selaras
dengan kelompok tertentu akan membuat kita lebih nyaman dan menghindarkan kita dari
celaan dalam kelompok tersebut. Nah, berhubungan dengan perilaku remaja yang
sekarang ini memakai jilbab yang bermodel-model, kemungkinan faktor tekanan
dari kelompok bermain sebaya bisa menjadi alasannya.
Sekarang
pertanyaannya adalah manakah alasan utama remaja muslim putri memutuskan untuk
berjilbab? Sebagai jembatan agar mau berjilbab tanpa takut dibilang kuno?
Ataukah adanya tekanan untuk berjilbab dari kelompok bermain sebayanya?
Teori Konformitas, Penyesuaian Diri Paling Aman
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuatnya konformitas dalam suatu kelompok yang mempengaruhi perilaku individu. Penelitian ini dipelopori oleh Solomon Asch pada tahun 1951 (1951, 1955 dalam Baron, Branscombe, Byrne,2008). Asch melakukan eksperimen dengan cover story partisipan akan ikut serta dalam tes psikologi tentang penilaian visual. Partisipan sebelumnya diberikan 2 kartu yang gambarnya garis, kartu pertama berisi 1 garis standar dan yang lain berisi beberapa garis yang panjangnya berbeda. Mereka kemudian diberi pertanyaan, “Mana garis yang sama dengan garis standar ?”
Eksperimen ini dimulai ketika 8 orang partisipan masuk ke dalam
ruangan. Namun sesungguhnya 7 partisipan
diantaranya merupakan confederates , yaitu asisten peneliti yang bertugas
“membelokan” jawaban si partisipan yang asli. Jawaban dari pertanyaan diatas
disampaikan secara verbal oleh seluruh partisipan dan secara sengaja partisipan
yang asli diletakkan di urutan terakhir untuk menjawab. Skenario berjalan,
confederate diminta Asch untuk memberikan jawaban dengan suara lantang sebelum
partisipan memberikan jawabannya. Para confederates memberikan jawaban salah
yaitu “B” sedangkan partisipan memberikan jawaban benar yaitu “C”. Hal ini
dilakukan berulang kali hingga 18 kali. Pada waktu tertentu partisipan yang
tadinya memberikan jawaban yang benar kemudian beralih mengikuti jwaban
mayoritas di sekelilingnya. Dari seluruh partisipan yang terlibat dalam
eksperimen ini, 76% mengikuti jawaban salah dari confederates. Ketika para partisipan
ditanyai setelah eksperimen ini, sebagian besar dari mereka mengaku tidak sreg
pada jawaban mayoritas namun tetap menjawab B karena takut dianggap aneh atau
dicemooh. Sedangkan sebagian kecil dari mereka berkata kalau mereka benar-benar
mengira bahwa jawaban B adalah benar padahal itu jelas – jelas salah.
Dari eksperimen yang dilakukan oleh Solomon Asch ini membuktikan
bahwa seseorang cenderung melakukan konformitas di tengah tekanan kelompok yang
mereka rasakan dan mengikuti penilaian
orang lain untuk menghindari celaan kelompok kepadanya.
Sarwono menjelaskan konformitas merupakan bentuk perilaku sama dengan
orang lain, yang didorong dengan keinginan diri sendiri.
Konformitas dapat dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya
tekanan dari kelompok. Dasar utama dari
konformitas adalah ketika inidvidu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi
yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun
tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang (Siswati dan Masykur,
2011). Menurut penelitian Ross, Bierbaner & Stoffman
(1976) : apabila ada perbedaan pendapat antara seseorang dengan kelompoknya,
akan timbul perasaan tidak enak dalam diri orang tersebut. Dalam kondisi yang
demikian, jalan yang paling aman adalah konformi. Kecenderungan demikian ini
dapat terjadi apabila individu tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang
rasional, mengapa ada perbedaan pendapat seperti itu.
Setelah kita memahami eksperimen tentang konformitas diatas,
betapa kuatnya pengaruh sosial terhadap perilaku yang muncul di diri kita
sampai-sampai pengaruh tersebut bisa membutakan kita atas jawaban mana yang
benar dan mana yang salah. Apalagi ajakan untuk berjilbab, hal ini memang sudah
kewajiban seorang muslim untuk melaksanakannya ditambah lagi pengaruh sosial
kelompok yang kebanyakan dari mereka berjilbab. Maka akan sangat mudah remaja
melakukan konformitas memakai jilbab karena anggota yang lain sudah menggunakan
jilbab duluan. Dibalik hebatnya konformitas ini pasti ada faktor-faktor yang
dapat mendukung keberhasilan teori ini. Menurut saya ada 4 faktor terbesar,
antara lain:
Pertama, besar
kecilnya kelompok. Semakin besarnya ukuran kelompok akan membuat konformitas
semakin mudah terjadi. Bayangkan jika eksperimen tadi hanya ada 1 confederate.
Partisipan yang asli beranggapa bahwa orang itu yang salah, tapi jika jumlah
confederate ditambah menjadi 7 maka partisipan tersebut akan berpikir apakah
dirinya salah. Jadi, ukuran kelompok mempengaruhi tekanan yang dirasakan
individu untuk bersikap konformi atau tidak. Begitu pula dalam kelompok remaja
yang katanya alim, modis/fashionable dan berjilbab. Semakin banyak anggota di
kelompok tersebut maka semakin besar individu untuk melakukan konformitas.
Kedua, kekonsistenan perilaku kelompok. Setiap
confederate dalam eksperimen ini bertugas secara konsisten untuk memberikan
jawaban yang salah. Secara otomatis partisipan akan merasa bingung sekaligus
tertekan dengan jawaban yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Maka untuk
mengatasinya partisipan akan melakukan konformitas dengan pendapat orang lain. Seorang yang memutuskan untuk memakai jilbab yang fasionable pasti
sebelumnya melihat kekonsistenan anggota kelompok dahulu. Satu saja anggota
kelompok yang tidak konsisten akan mengurangi tingkat konformitas pada individu
tersebut begitu pula sebaliknya.
Ketiga, komitmen kepada kelompok. Commitment
(Komitmen) adalah kekuatan baik itu positif atau negatif, yang membuat individu
tetap berhubungan atau tetap setia dalam kelompok. Kekuatan positif yang
memancing individu untuk masuk ke dalam kelompok remaja muslim yang berjilbab
adalah rasa suka karena kelompok tersebut memiliki tujuan yang baik, kelompok
tersebut sangat fashionable dan modis, dll. Semakin besar komitmen seseorang
terhadap kelompok, semakin besar tekanan ke arah konformitas terhadap standar
kelompok.
Keempat, Kepercayaan diri. Dalam eksperimen diatas,
banyak diantara partisipan yang goyah akan pendiriannya menjawab benar
pertanyaan dikarenakan confederate kebanyakan menjawab yang salah. Kegoyahan
inilah yang memicu partisipan untuk mengevaluasi jawabannya kembali. Seperti
yang dijelaskan pada Social Comparison Theory oleh Leon Festinger (dalam
Calhoun, 1990). Teori ini beranggapan bahwa individu mengevaluasi pendapat atau
penilaiannya sendiri dengan membandingkan dengan pendapat atau penilaian orang
lain. Menurut teori ini pula seorang akan konform
dengan kelompoknya jika ia menilai bahwa kelompok tersebut adalah benar dan dia
merasa takut kalau ditolak. Jadi, semakin rendah kepercayaan diri seseorang
akan semakin mengarahkan perilakunya ke arah konform dengan kelompoknya. Sama
halnya jika kita dalam kelompok remaja yang berjilbab modis sedang kita sebagai
anggota tidak berjilbab aau berjilbab tapi kuno. Pasti akan tibul perasaan
tidak percaya diri karena kita berbeda dari yang lain. Maka, untuk mengatasinya
kita melakukan konformitas untuk menaikkan percaya diri kita dalam kelompok
tersebut.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Percobaan_konformitas_Asch diakses
pada 10 Mei 2014
http://kajianpsikologi.guru-indonesia.net/artikel_detail-34844.html diakses
pada 10 Mei 2014
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol. 01, No.01, Januari 2013. Konsep
Diri dengan Konformitas pada Komunitas Hijabers. Mutia Andriani. Universitas Muhammadiyah
Malang.
Hand-out
Psikologi Sosial #9 Pengaruh Sosial 2008. Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar