Jumat, 05 September 2014

Essay Esai Psikologi Sosial tentang Conformity "Kamu Cantik deh kalo Pakai Jilbab! Sebuah Konformitas"



Kamu Cantik deh kalo Pakai Jilbab! Sebuah Konformitas
Muti’ah Isnaeni
G0113071
Mahasiswa Program Studi Psikologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Sekarang ini jilbab merupakan gaya hidup yang tren dan umum di kalangan remaja muslim putri. Tidak seperti jaman ibu saya, jilbab hanya digunakan oleh wanita muslim tertentu dan itu pun masih dianggap asing dan kuno di masyarakat. Dengan berbagai model yang tidak hanya memenuhi syar’i tetapi juga mengikuti jaman fashoin masa kini membuat jilbab kian digemari. Ditambah dengan warna-warni jilbab dan asesoris yang menghiasinya, seakan bisa menambah percaya diri para penggunanya.
Kita tahu manusia adalah makhluk yang bersifat individual sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individual manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. Begitu pula remaja, mereka mempunyai motif untuk selalu terikat dan berinteraksi di lingkungan sosialnya. Namun, menurut saya kebanyakan dari mereka lebih suka membuat kelompok-kelompok bermain tertentu yang seusia dengan mereka sebagai lingkungan sosialnya dibanding berinteraksi dengan orang yang lebih tua maupun lebih muda darinya.

Sadar atau tidak, kelompok bermain sebaya ini memiliki pengaruh yang besar untuk bisa mengubah perilaku kita. Mengapa? Karena tadi, kita memiliki keinginan untuk bersama dan berinteraksi dengan orang lain. Supaya keinginan itu terwujud kita mau tidak mau harus mematuhi norma – norma dan menyesuaikan perilaku kita di kelompok tersebut. Perubahan perilaku ini disebut konformitas. Seperti  pendapat Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2000) menyatakan konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan ke arah kelompok sebagai akibat tekanan dan tuntutan kelompok, baik tuntutan yang nyata maupun tuntutan yang hanya dibayangkan saja. Dengan mengubah perilaku kita menjadi selaras dengan kelompok tertentu akan membuat kita lebih nyaman dan menghindarkan kita dari celaan dalam kelompok tersebut. Nah, berhubungan dengan perilaku remaja yang sekarang ini memakai jilbab yang bermodel-model, kemungkinan faktor tekanan dari kelompok bermain sebaya bisa menjadi alasannya.
 

Sekarang pertanyaannya adalah manakah alasan utama remaja muslim putri memutuskan untuk berjilbab? Sebagai jembatan agar mau berjilbab tanpa takut dibilang kuno? Ataukah adanya tekanan untuk berjilbab dari kelompok bermain sebayanya? 

Teori Konformitas, Penyesuaian Diri Paling Aman
 
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuatnya konformitas dalam suatu kelompok yang mempengaruhi perilaku individu. Penelitian ini dipelopori oleh Solomon Asch pada tahun 1951 (1951, 1955 dalam Baron, Branscombe, Byrne,2008). Asch melakukan eksperimen dengan cover story partisipan akan ikut serta dalam tes psikologi tentang penilaian visual. Partisipan sebelumnya diberikan 2 kartu yang gambarnya garis, kartu pertama berisi 1 garis standar dan yang lain berisi beberapa garis yang panjangnya berbeda. Mereka kemudian diberi pertanyaan, “Mana garis yang sama dengan garis standar ?”
Eksperimen ini dimulai ketika 8 orang partisipan masuk ke dalam ruangan.  Namun sesungguhnya 7 partisipan diantaranya merupakan confederates , yaitu asisten peneliti yang bertugas “membelokan” jawaban si partisipan yang asli. Jawaban dari pertanyaan diatas disampaikan secara verbal oleh seluruh partisipan dan secara sengaja partisipan yang asli diletakkan di urutan terakhir untuk menjawab. Skenario berjalan, confederate diminta Asch untuk memberikan jawaban dengan suara lantang sebelum partisipan memberikan jawabannya. Para confederates memberikan jawaban salah yaitu “B” sedangkan partisipan memberikan jawaban benar yaitu “C”. Hal ini dilakukan berulang kali hingga 18 kali. Pada waktu tertentu partisipan yang tadinya memberikan jawaban yang benar kemudian beralih mengikuti jwaban mayoritas di sekelilingnya. Dari seluruh partisipan yang terlibat dalam eksperimen ini, 76% mengikuti jawaban salah dari confederates. Ketika para partisipan ditanyai setelah eksperimen ini, sebagian besar dari mereka mengaku tidak sreg pada jawaban mayoritas namun tetap menjawab B karena takut dianggap aneh atau dicemooh. Sedangkan sebagian kecil dari mereka berkata kalau mereka benar-benar mengira bahwa jawaban B adalah benar padahal itu jelas – jelas salah.
Dari eksperimen yang dilakukan oleh Solomon Asch ini membuktikan bahwa seseorang cenderung melakukan konformitas di tengah tekanan kelompok yang mereka rasakan  dan mengikuti penilaian orang lain untuk menghindari celaan kelompok kepadanya.
Sarwono menjelaskan konformitas merupakan bentuk perilaku sama dengan orang lain, yang didorong dengan keinginan diri sendiri. Konformitas dapat dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok. Dasar utama dari konformitas adalah ketika inidvidu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang (Siswati dan Masykur, 2011). Menurut penelitian Ross, Bierbaner & Stoffman (1976) : apabila ada perbedaan pendapat antara seseorang dengan kelompoknya, akan timbul perasaan tidak enak dalam diri orang tersebut. Dalam kondisi yang demikian, jalan yang paling aman adalah konformi. Kecenderungan demikian ini dapat terjadi apabila individu tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang rasional, mengapa ada perbedaan pendapat seperti itu.

Setelah kita memahami eksperimen tentang konformitas diatas, betapa kuatnya pengaruh sosial terhadap perilaku yang muncul di diri kita sampai-sampai pengaruh tersebut bisa membutakan kita atas jawaban mana yang benar dan mana yang salah. Apalagi ajakan untuk berjilbab, hal ini memang sudah kewajiban seorang muslim untuk melaksanakannya ditambah lagi pengaruh sosial kelompok yang kebanyakan dari mereka berjilbab. Maka akan sangat mudah remaja melakukan konformitas memakai jilbab karena anggota yang lain sudah menggunakan jilbab duluan. Dibalik hebatnya konformitas ini pasti ada faktor-faktor yang dapat mendukung keberhasilan teori ini. Menurut saya ada 4 faktor terbesar, antara lain:

Pertama, besar kecilnya kelompok. Semakin besarnya ukuran kelompok akan membuat konformitas semakin mudah terjadi. Bayangkan jika eksperimen tadi hanya ada 1 confederate. Partisipan yang asli beranggapa bahwa orang itu yang salah, tapi jika jumlah confederate ditambah menjadi 7 maka partisipan tersebut akan berpikir apakah dirinya salah. Jadi, ukuran kelompok mempengaruhi tekanan yang dirasakan individu untuk bersikap konformi atau tidak. Begitu pula dalam kelompok remaja yang katanya alim, modis/fashionable dan berjilbab. Semakin banyak anggota di kelompok tersebut maka semakin besar individu untuk melakukan konformitas.

Kedua, kekonsistenan perilaku kelompok. Setiap confederate dalam eksperimen ini bertugas secara konsisten untuk memberikan jawaban yang salah. Secara otomatis partisipan akan merasa bingung sekaligus tertekan dengan jawaban yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Maka untuk mengatasinya partisipan akan melakukan konformitas dengan pendapat orang lain. Seorang yang memutuskan untuk memakai jilbab yang fasionable pasti sebelumnya melihat kekonsistenan anggota kelompok dahulu. Satu saja anggota kelompok yang tidak konsisten akan mengurangi tingkat konformitas pada individu tersebut begitu pula sebaliknya.

Ketiga, komitmen kepada kelompok. Commitment (Komitmen) adalah kekuatan baik itu positif atau negatif, yang membuat individu tetap berhubungan atau tetap setia dalam kelompok. Kekuatan positif yang memancing individu untuk masuk ke dalam kelompok remaja muslim yang berjilbab adalah rasa suka karena kelompok tersebut memiliki tujuan yang baik, kelompok tersebut sangat fashionable dan modis, dll. Semakin besar komitmen seseorang terhadap kelompok, semakin besar tekanan ke arah konformitas terhadap standar kelompok.

Keempat, Kepercayaan diri. Dalam eksperimen diatas, banyak diantara partisipan yang goyah akan pendiriannya menjawab benar pertanyaan dikarenakan confederate kebanyakan menjawab yang salah. Kegoyahan inilah yang memicu partisipan untuk mengevaluasi jawabannya kembali. Seperti yang dijelaskan pada Social Comparison Theory oleh Leon Festinger (dalam Calhoun, 1990). Teori ini beranggapan bahwa individu mengevaluasi pendapat atau penilaiannya sendiri dengan membandingkan dengan pendapat atau penilaian orang lain. Menurut teori ini pula seorang akan konform dengan kelompoknya jika ia menilai bahwa kelompok tersebut adalah benar dan dia merasa takut kalau ditolak. Jadi, semakin rendah kepercayaan diri seseorang akan semakin mengarahkan perilakunya ke arah konform dengan kelompoknya. Sama halnya jika kita dalam kelompok remaja yang berjilbab modis sedang kita sebagai anggota tidak berjilbab aau berjilbab tapi kuno. Pasti akan tibul perasaan tidak percaya diri karena kita berbeda dari yang lain. Maka, untuk mengatasinya kita melakukan konformitas untuk menaikkan percaya diri kita dalam kelompok tersebut.

Daftar Pustaka
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol. 01, No.01, Januari 2013. Konsep Diri dengan Konformitas pada Komunitas Hijabers. Mutia Andriani. Universitas Muhammadiyah Malang.
Hand-out Psikologi Sosial #9 Pengaruh Sosial 2008. Universitas Gadjah Mada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar